Arigatou... Isshoni sugoseta hibi o.
“Thank you... for the days we spent together.”
Arigatou... Anata ga watashi ni kureta subete.
“Thank you... for everything you have given me”
(Kokoro – Kagamine Rin)
"Please, don't forget about me..."
Aku ingat hari pertama saat aku mulai menginjak kelas 9. Waktu itu adalah hari Senin. Upacara pun digelar untuk menyambut tahun ajaran baru. Hari itu, aku benar-benar khawatir. Khawatir kalau aku nantinya tidak memiliki teman dan tidak dapat bergaul. Karena aku tergolong anak baru (aku baru pindah saat kelas 8 SMP), aku masih belum banyak kenal orang-orang. Aku pun masih meraba-raba untuk bisa berinteraksi dengan orang lain.
Aku selalu pindah kota karena tuntutan pekerjaan orang tua. Kadang
aku sering bercerita tentang kepindahanku pada orang-orang. Saat aku bercerita
tentang diriku yang selalu pindah kota sekaligus sekolah, orang-orang pasti bilang
‘Ih, asyik banget! Kamu bisa punya banyak
temennya, ya!’ ada juga yang bilang,
‘Banyak cowok ganteng nggak disana?’ atau ada juga yang bilang gini, ‘Saf, utang pulsamu belom dibayar.’
Mereka kira pindah-pindah bisa langsung dapet temen banyak
gitu? Padahal, ada satu fase yang aku benci dari dulu saat mau pindah sekolah.
Yaitu, perkenalan.
Ironis memang. Sering pindah-pindah, tapi masih suka
canggung waktu ketemu orang baru. Karena aku pikir, orang akan tertarik dengan
kita kalau kita punya penampilan menarik saat hari pertama bertemu, saat hari
pertama berkenalan. Walaupun dituntut harus menarik, bukan berarti kalian make
baju badut waktu ke sekolah. Bukannya banyak orang yang tertarik sama kita,
kita malah dijauhin sama orang dikira orang gila.
Saat upacara berakhir, aku langsung mencari kelas dengan
namaku yang tertera disana. Aku terus berkeliling mencari namaku, berdesak-desakan
dengan murid-murid lain yang juga penasaran akan masuk kelas mana nantinya. Ada
yang senang saat mengetahui bahwa dirinya sekelas dengan sahabatnya,
kecengannya atau mungkin bisa menghindari musuh bebuyutannya. Ada yang sedih
karena harus berpisah dengan sahabatnya, kecengannya atau malah sekelas dengan
musuh bebuyutannya. Ahaha, melihatnya saja sudah lumayan menghiburku. Tapi aku
masih harus mencari dimana kelas yang akan aku tempati selama dua semester ke
depan ini.
Aku masih sibuk melihat daftar nama. Sampai akhirnya aku
menemukan sebuah nama di sebuah kelas yang mencantumkan sebuah nama dengan
indahnya. Nama tersebut adalah Safira Finaka.
Eh? Siapa tuh Safira Finaka?
Kok rasanya pernah kenal, ya?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hening.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mikir dulu bentar.
.
.
.
Tunggu. Itu kan namaku!!!
Ah, mungkin gara-gara liburan sekolah, otakku jadi rada
melemot. Nama sendiri (dengan cacat penulisan yang nggak awesome) masa lupa. Pedulilah, yang penting dapet kelas. Melirik sebentar
kertas itu, rupanya ini kelas 9F. Sebelum aku memutuskan untuk masuk ke kelas,
aku melihat lagi daftar nama yang terpampang di depan tembok bercat kuning
tersebut. Mencoba melihat daftar manusia-manusia yang akan menjadi rekanku
untuk satu tahun ke depan ini.
‘Tiga puluh empat orang dalam satu kelas. Berarti sekitar tiga
puluh tiga manusia akan manjadi teman seperjuanganku.’ Batinku dalam hati.
Setelah membaca daftar nama
tersebut, aku pun langsung melengos masuk ke dalam kelas tanpa tahu kalau
kelas itu nantinya hanya akan menampung tiga puluh satu siswa dengan kepribadian unik,
langka dan bermacam-macam.
_______________________________________________________________________
Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kelas. Suasana yang
asing. Orang-orangnya juga asing. Ngomong-ngomong, kenapa disini bau pesing?
Kekhawatiran yang sempat aku pikirkan saat upacara,
terngiang lagi di pikiranku. Gimana nanti kalau aku nggak dapet temen sampai
lulus? Nanti kalau mau nyontek, aku nyontek siapa? Terus, kalau aku laper, mau
minta makanan sama siapa? Pertanyaan aneh itu terus bermunculan, sampai akhirnya
kekhawatiranku pun memudar saat melihat salah satu teman karibku saat kelas 8
dulu, Sera.
Yay! Lumayan, ada temen!
Aku melihat kursi di sebelah Sera kosong. Mungkin dia belum
dapet temen sebangku, pikirku. Dia pun melihatku yang dari tadi
celingak-celinguk kayak cecunguk di depan kelas.
“Saf, kamu disini juga! Sini, duduk di sebelah aku aja!”
Sera menepuk-nepuk bangku kosong yang ada di sebelah kanannya. Bukan, bukan
bangku kosong yang ada di film horor itu.
“Ehehe, iya.” Aku berjalan menuju bangku yang ditepuk-tepuk
oleh Sera.
Aku duduk sambil meletakan tas gendongku.
“Kita sekelas lagi, ya? Sebangku lagi malah.” kataku membuka pembicaraan. Sempat
terdengar nada bicara yang lega dari kalimatku tadi.
“Iya. Kebetulan banget, ya.” Jawabnya sambil tersenyum.
Kami pun berbincang-bincang. Cuma perbincangan ringan antara
teman lama. Tentang Sera yang sedih karena kecengannya nggak bisa satu kelas sama
dia. Waktu itu aku nggak tau siapa kecengan dia. Justin Bieber mungkin. Tapi setelah
dipikir-pikir, ngapain juga Justin Bieber merantau ke Bandung. Mau jualan gorengankah? Atau mau ngegantiin Sule jadi wayang di OVJ? Mengingat wajah mereka berdua mirip.
Dia juga cerita kalau dia seneng karena bisa sekelas lagi sama aku dan nggak sekelas sama musuh bebuyutannya. Ahaha, alasan klasik seperti yang aku cantumkan di atas.
Dia juga cerita kalau dia seneng karena bisa sekelas lagi sama aku dan nggak sekelas sama musuh bebuyutannya. Ahaha, alasan klasik seperti yang aku cantumkan di atas.
Pembicaraan ringan kami pun berakhir karena bel pulang sudah
berbunyi. Kata Sera, hari ini jadwalny hanya penempatan kelas aja. Jadi,
setelah selesai boleh pulang.
Aku pun menggendong lagi tas punggung hitamku untuk meninggalkan
kelas ini dan beranjak pulang ke rumahku yang tidak terlalu jauh dari sekolah.
Saat hendak berjalan menuju gerbang sekolah, aku
menghentikan langkah sejenak sambil mendongakkan kepala ke atas langit.
‘Cerita baru akan
dimulai dari hari ini.’
Dari jauh pun aku melihat temanku, Ammi. Sama seperti Sera,
Ammi juga teman lamaku dari kelas 8. Kami memang sering berjalan pulang bersama
karena kebetulan kami tinggal di komplek perumahan yang sama.
“Saf, pulang bareng, yuk!” ajaknya.
Aku pun mengangguk, mengiyakan ajakannya.
“Ayo!”
_______________________________________________________________________
Perlahan-lahan, cerita di kelas 9F pun mulai tercipta.
Dimulai dari dipindahkannya 2 murid ke kelas lain yang
berimbas pada jumlah siswa yang menjadi 32 orang.
Kasus 2 orang murid yang sudah berbulan-bulan tidak masuk ke
sekolah, satu diantaranya keluar dari sekolah. Siswa di kelas 9F berkurang lagi
menjadi 31 orang.
Kisah cinta yang bersemi dan tidak diduga-duga. Dimulai secara tak sengaja dengan kedok ngusilin tiap hari.
Perpecahan dan permusuhan.
Tugas-tugas yang kalau ditumpuk bisa menjulang seperti
gunung besar dan dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan pesawat seperti Sukhoi.
Guru-guru yang dapat meramaikan suasana di kelas.
Pindah kelas karena kelas yang lama sedang direnovasi.
Percobaan bikin tempe, yogurt, dan tape.
Bolos saat pemantapan.
Berkumpul di meja Sera untuk makan bekal bersama.
Beberapa orang yang merubah penampilan dengan memakai jilbab
untuk menutupi auratnya.
Try Out bersama untuk melatih kita yang hendak menghadapi
ujian kelulusan sekolah.
Pergi ke Jogja bersama.
Dan masih banyak lagi.
Cerita itu akan terkenang. Cerita itu akan selalu diingat.
Cerita itu akan membuat kita tersenyum karena kelakuan kita dulu yang absurd
luar biasa. Cerita itu akan menjadi bukti nyata saat kita dewasa.
Waktu akan terus berjalan. Kita tidak dapat melihat masa depan.
Bahkan aku pun tidak menyadari akan menulis ini saat pertama kali menginjakan kaki di kelas 9F. Kini kita akan melangkah pergi meninggalkan sekolah dan kelas yang
menjadi latar tempat cerita kita. Memilih jalan yang berbeda satu sama lain dan
tidak akan lagi bertemu dengan rekan-rekan kita sekarang. Atau mungkin jika
takdir mengizinkan, kita akan bertemu lagi di sekolah kita yang baru.
Tidak akan ada lagi orang yang suka bergaya ala banci
seperti Adi.
Tidak akan ada lagi cewek jago beladiri seperti Abel.
Tidak akan ada lagi orang yang suka telat dengan tampang
watados seperti Alvian.
Tidak akan ada lagi wajah dengan pipi bakpao seperti punya
Afit.
Tidak akan ada lagi yang malu-malu buat maju ke depan kelas
seperti Ayu Sinta.
Tidak akan ada lagi yang ramah seperti Desi Amelia.
Tidak akan ada lagi orang yang pintar, baik hati dan jago
matematikanya seperti Desy Hadianita.
Tidak akan ada lagi si anggota pramuka yang ramah seperti
Dony.
Tidak akan ada lagi ketua kelas dengan sifat kebapakannya
seperti Fikri.
Tidak akan ada lagi orang yang cantik seperti malaikat dan nggak
kamseupay seperti Iin. (Maafkan hamba yang telah menulis ini, Ya Allah)
Tidak akan ada lagi partner Alvian dalam hal telat masuk
sekolah seperti Irsad.
Tidak akan ada lagi cewek modis seperti Juan.
Tidak akan ada lagi yang nagihin uang kelas dan cantik
seperti Lely.
Tidak akan ada lagi yang mesumnya selangit seperti Anwar.
Tidak akan ada lagi cinta yang tak terbalas seperti yang
dirasakan Hadiyan.
Tidak akan ada lagi cowok ramah seperti Taufik.
Tidak akan ada lagi yang pintar dan selalu bersaing soal nilai
pelajaran dengan Desy seperti Nurla.
Tidak akan ada lagi kata-kata ‘What’s Wrong?’ dari Ipat.
Tidak akan ada lagi cewek yang takut sama benda tajam
seperti Dita.
Tidak akan ada lagi cowok pemalu tapi cerdas seperti Rega.
Tidak akan ada lagi temen makan bekal makanan bareng seperti
Retyan.
Tidak akan ada lagi kegiatan dance Korea di depan kelas
seperti yang selalu dilakukan Rusydah.
Tidak akan ada lagi partner dance Rusydah seperti Selly.
Tidak akan ada lagi yang cerewet seperti Sera.
Tidak akan ada lagi cewek yang pintar nari jaipong seperti
Siti Mariam.
Tidak akan ada lagi cewek yang selalu tersenyum seperti Siva.
Tidak akan ada lagi cowok yang ngomong dengan huruf S-nya
cadel seperti Wahyu.
Tidak akan ada lagi cowok usil seperti Yoman.
Tidak akan ada lagi cewek yang selalu galau seperti Yusti.
Tidak akan ada lagi wali kelas yang rame seperti Pak Hutnal.
Layaknya seperti panggung pertunjukan yang megah. Dengan kita
diibaratkan sebagai aktor yang menjalankan sebuah kisah yang pantas untuk kita
kenang. Kita bermain untuk membentuk kisah dan merangkainya menjadi indah. Menikmati
babak-babak drama yang telah disusun oleh sang Maha Pencipta. Namun, ada
kalanya tirai panggung akan turun dan membuat kisah kita harus berakhir. Setelah
kisah itu selesai, mau tidak mau kita harus mencari panggung yang baru dengan
kisah baru yang harus kita lakoni dan memainkan kisah itu dengan para pemain
atau aktor yang baru pula.
Sebelum kita menemukan panggung baru tersebut. Aku ingin
mengucapkan sesuatu. Aku memang tidak pintar menulis rangkaian kata-kata indah.
Tapi aku ingin mengatakan,
terima kasih, kawan. Semoga, suatu saat kita dapat bertemu
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar